Keluarga adalah kata yang sangat mudah membuat saya meneteskan air mata. Entah diucapkan atau dibahas dalam kajian, dalam doa, dalam pesan, atau dalam kutipan Al-Qur’an dan hadits. Allah mengatur urusan manusia dengan begitu sempurna. Dari orang tua mana kita dilahirkan, dari kondisi keimanan seperti apa kita dibesarkan, dari lingkungan dimana kita dibentuk. Semua Allah atur dengan sempurna untuk membentuk diri kita seperti ini, dengan rahmat dan ujian. Dan atas perintah Allah lah, kita harus menjaga segala kekurangan kelurga kita dengan baik, menjaganya dalam pandangan yang baik bagi orang lain, kecuali di saat-saat tertentu seperti saat kita akan membina keluarga dengan orang lain dan kita harus terbuka dengan kondisi keluarga masing-masing. Cukuplah kita menutup rapat beratnya hidup yang kita lalui tanpa perlu penghakiman atas pandangan orang lain. Cukuplah Allah sebagai tempat kita bersandar dan meminta keringanan atas apa yang kita lalui.
Pada keluarga seperti apa kita dilahirkan adalah hak prerogatif Allah, demikian pula pada siapa Allah menurunkan hidayahnya. Hidayah punya banyak bentuk, entah hidayah memeluk Islam, hidayah menjalankan syariat Islam dengan lebih baik, hidayah dikembalikan kepada jalan kebaikan, dll. Namun semua cirinya sama, Allah lembutkan dan bukakan hati mereka yang Ia ridhai untuk menerima hidayah-Nya. Kepada siapa saja? Siapapun yang Ia ridhai.
Saya sangat percaya bahwa baiknya suatu keluarga adalah karena roda keridhaan yang berputar pada masing-masing individu keluarga tersebut. Allah meridhai surga dari kepala rumah tangga (ayah). Ayah yang meridhai istrinya, istri yang meridhai anak-anaknya, anak-anak yang meridhai kedua orang tuanya. Hingga turunlah rahmat dan kasih sayang Allah pada keluarga tersebut. Maka, jika kita dapati keluarga kita belum menjadi rumah yang hangat bagi hati kita, mungkin karena keridhaan itu belum hadir di tengah-tengah keluarga tersebut. Wallahu a’lam bishowab.
.
Ust. Felix membahas dalam video terakhirnya, terkait hidayah. Jika hidayah itu ditentukan dari keshalihan orang yang menyampaikannya, tentulah Rasulullah SAW mampu membawa pamannya sendiri, Abu Thalib untuk beriman. Tapi beliau tidak mampu. Seberapapun Rasulullah menangis dan meminta pamannya bersyahadat sebelum wafatnya, selama Allah belum meridhainya, maka ia tidak akan memeroleh hidayah tersebut. Demikian pula dengan Ust. Felix. Jika formula hidayah itu ada, tentu beliau akan menerapkannya pada ayah ibunya, sebelum siapapun di dunia ini. Tapi formula hidayah itu tidak ada, melainkan murni karena kehendak Allah. Tugas kita hanya menyampaikan, mengajak, membimbing, dan mendoakan, sisanya adalah bagian Allah. Karena jika hanya dengan cinta, seseorang bisa membawa orang lain ke surga, tentulah seluruh ummat manusia yang dimohonkan ampunan oleh Rasulullah, akan masuk surga. Tapi nyatanya tidak. Keridhaan Allah adalah syarat mutlak diperkenankannya seseorang untuk masuk dalam surga-Nya, demikian pula dengan hidayah. Wallahu a’lam bishowab
Apa yang bisa kita usahakan? Selalu introspeksi diri, demikian Ust. Felix sampaikan. Saya sepakat dengan semua yang beliau ceritakan dan sarankan dalam videonya, terutama introspeksi orangtua dalam mendidik anak-anaknya dari kecil hingga sekarang. Seberapa besar mereka menanamkan keimanan dan kedekatan hubungan orang tua dan anak, hingga anak percaya untuk berbagi kepada orang tuanya, dan orang tua menjadi figur panutan bagi anak-anaknya. Saya paham betul tentang kondisi ini karena sangat relatable. Disinilah beliau belajar untuk memerbaiki apa yang tidak ia dapati pada orang tuanya, untuk kemudian ia coba tanamkan pada anak-anaknya.
Kisah Ust. Felix ini relatable dengan nasihat Ust. Oemar Mita, namun dari sisi bagaimana anak menempatkan orang tuanya dalam posisi terbaik. Beliau menyampaikan bahwa ganjaran yang diterima cash seseorang di dunia adalah ganjaran seorang anak kepada orang tuanya. Hukum ini berlaku untuk semua manusia, beriman atau tidak beriman. Bedanya, mereka yang beriman akan dibalas di dunia dan di akhirat, sedangkan mereka yang kufur balasannya hanya di dunia. Maka tidak heran ketika kita dapati kemudahan dan limpahan keberuntungan yang diperoleh seorang hamba, semata-mata karena perbuatan baik yang ia lakukan kepada orang tuanya, terutama kepada ibunya. Demikian pula dengan kesulitan bertubi-tubi seorang hamba disamping dari potensi besar yang ia miliki (seperti latar belakang pendidikan, rupa dan penampilan, kekayaan, dll) bisa jadi karena perilaku buruk yang ia lakukan kepada kedua orang tuanya. Dan jangan heran, kata beliau, ketika anak kita tanpa sadar melakukan sesuatu yang dulu kita lakukan pada kedua orang tua kita. Maka tanamkanlah dalam diri kita masing-masing bagaimana kita ingin diperlakukan oleh anak-anak kita kelak, seperti itulah kita seharusnya memerlakukan kedua orang tua kita.
Saya tahu betapa malunya saya pada diri sendiri karena lemahnya daya upaya yang saya miliki untuk membawa kebaikan bagi diri saya dan orang-orang yang saya cintai. Keluarga adalah orang terdekat dan kritikus paling tajam atas kelebihan dan kekurangan kita masing-masing. Maka tidak heran ketika keluarga adalah medan da’wah tersulit yang dihadapi oleh masing-masing kaum muslim. Mereka lah yang paling hebat dalam membalikkan ucapan kita, yang paling kritis dalam menanggapi kekurangan kita. Tapi saya selalu ingat, bahwa keluarga lah yang akan pertama ada dan mengkhawatirkan kita di saat terpuruk kita sekalipun. Mereka anugerah ataupun ujian, Allah sudah takdirkan satu paket demikian. Maka jangan menyerah. Bersamai mereka selalu dalam sujud dan doa-doa tulus kita 🙂 insyaa Allah, semoga usaha kita mampu mengetuk keridhaan Allah untuk kita dan orang-orang yang kita cintai.