Hidayah dalam Keluarga

Keluarga adalah kata yang sangat mudah membuat saya meneteskan air mata. Entah diucapkan atau dibahas dalam kajian, dalam doa, dalam pesan, atau dalam kutipan Al-Qur’an dan hadits. Allah mengatur urusan manusia dengan begitu sempurna. Dari orang tua mana kita dilahirkan, dari kondisi keimanan seperti apa kita dibesarkan, dari lingkungan dimana kita dibentuk. Semua Allah atur dengan sempurna untuk membentuk diri kita seperti ini, dengan rahmat dan ujian. Dan atas perintah Allah lah, kita harus menjaga segala kekurangan kelurga kita dengan baik, menjaganya dalam pandangan yang baik bagi orang lain, kecuali di saat-saat tertentu seperti saat kita akan membina keluarga dengan orang lain dan kita harus terbuka dengan kondisi keluarga masing-masing. Cukuplah kita menutup rapat beratnya hidup yang kita lalui tanpa perlu penghakiman atas pandangan orang lain. Cukuplah Allah sebagai tempat kita bersandar dan meminta keringanan atas apa yang kita lalui.

Pada keluarga seperti apa kita dilahirkan adalah hak prerogatif Allah, demikian pula pada siapa Allah menurunkan hidayahnya. Hidayah punya banyak bentuk, entah hidayah memeluk Islam, hidayah menjalankan syariat Islam dengan lebih baik, hidayah dikembalikan kepada jalan kebaikan, dll. Namun semua cirinya sama, Allah lembutkan dan bukakan hati mereka yang Ia ridhai untuk menerima hidayah-Nya. Kepada siapa saja? Siapapun yang Ia ridhai.

Saya sangat percaya bahwa baiknya suatu keluarga adalah karena roda keridhaan yang berputar pada masing-masing individu keluarga tersebut. Allah meridhai surga dari kepala rumah tangga (ayah). Ayah yang meridhai istrinya, istri yang meridhai anak-anaknya, anak-anak yang meridhai kedua orang tuanya. Hingga turunlah rahmat dan kasih sayang Allah pada keluarga tersebut. Maka, jika kita dapati keluarga kita belum menjadi rumah yang hangat bagi hati kita, mungkin karena keridhaan itu belum hadir di tengah-tengah keluarga tersebut. Wallahu a’lam bishowab.
.
Ust. Felix membahas dalam video terakhirnya, terkait hidayah. Jika hidayah itu ditentukan dari keshalihan orang yang menyampaikannya, tentulah Rasulullah SAW mampu membawa pamannya sendiri, Abu Thalib untuk beriman. Tapi beliau tidak mampu. Seberapapun Rasulullah menangis dan meminta pamannya bersyahadat sebelum wafatnya, selama Allah belum meridhainya, maka ia tidak akan memeroleh hidayah tersebut. Demikian pula dengan Ust. Felix. Jika formula hidayah itu ada, tentu beliau akan menerapkannya pada ayah ibunya, sebelum siapapun di dunia ini. Tapi formula hidayah itu tidak ada, melainkan murni karena kehendak Allah. Tugas kita hanya menyampaikan, mengajak, membimbing, dan mendoakan, sisanya adalah bagian Allah. Karena jika hanya dengan cinta, seseorang bisa membawa orang lain ke surga, tentulah seluruh ummat manusia yang dimohonkan ampunan oleh Rasulullah, akan masuk surga. Tapi nyatanya tidak. Keridhaan Allah adalah syarat mutlak diperkenankannya seseorang untuk masuk dalam surga-Nya, demikian pula dengan hidayah. Wallahu a’lam bishowab

Apa yang bisa kita usahakan? Selalu introspeksi diri, demikian Ust. Felix sampaikan. Saya sepakat dengan semua yang beliau ceritakan dan sarankan dalam videonya, terutama introspeksi orangtua dalam mendidik anak-anaknya dari kecil hingga sekarang. Seberapa besar mereka menanamkan keimanan dan kedekatan hubungan orang tua dan anak, hingga anak percaya untuk berbagi kepada orang tuanya, dan orang tua menjadi figur panutan bagi anak-anaknya. Saya paham betul tentang kondisi ini karena sangat relatable. Disinilah beliau belajar untuk memerbaiki apa yang tidak ia dapati pada orang tuanya, untuk kemudian ia coba tanamkan pada anak-anaknya.

Kisah Ust. Felix ini relatable dengan nasihat Ust. Oemar Mita, namun dari sisi bagaimana anak menempatkan orang tuanya dalam posisi terbaik. Beliau menyampaikan bahwa ganjaran yang diterima cash seseorang di dunia adalah ganjaran seorang anak kepada orang tuanya. Hukum ini berlaku untuk semua manusia, beriman atau tidak beriman. Bedanya, mereka yang beriman akan dibalas di dunia dan di akhirat, sedangkan mereka yang kufur balasannya hanya di dunia. Maka tidak heran ketika kita dapati kemudahan dan limpahan keberuntungan yang diperoleh seorang hamba, semata-mata karena perbuatan baik yang ia lakukan kepada orang tuanya, terutama kepada ibunya. Demikian pula dengan kesulitan bertubi-tubi seorang hamba disamping dari potensi besar yang ia miliki (seperti latar belakang pendidikan, rupa dan penampilan, kekayaan, dll) bisa jadi karena perilaku buruk yang ia lakukan kepada kedua orang tuanya. Dan jangan heran, kata beliau, ketika anak kita tanpa sadar melakukan sesuatu yang dulu kita lakukan pada kedua orang tua kita. Maka tanamkanlah dalam diri kita masing-masing bagaimana kita ingin diperlakukan oleh anak-anak kita kelak, seperti itulah kita seharusnya memerlakukan kedua orang tua kita.

Saya tahu betapa malunya saya pada diri sendiri karena lemahnya daya upaya yang saya miliki untuk membawa kebaikan bagi diri saya dan orang-orang yang saya cintai. Keluarga adalah orang terdekat dan kritikus paling tajam atas kelebihan dan kekurangan kita masing-masing. Maka tidak heran ketika keluarga adalah medan da’wah tersulit yang dihadapi oleh masing-masing kaum muslim. Mereka lah yang paling hebat dalam membalikkan ucapan kita, yang paling kritis dalam menanggapi kekurangan kita. Tapi saya selalu ingat, bahwa keluarga lah yang akan pertama ada dan mengkhawatirkan kita di saat terpuruk kita sekalipun. Mereka anugerah ataupun ujian, Allah sudah takdirkan satu paket demikian. Maka jangan menyerah. Bersamai mereka selalu dalam sujud dan doa-doa tulus kita 🙂 insyaa Allah, semoga usaha kita mampu mengetuk keridhaan Allah untuk kita dan orang-orang yang kita cintai.

Terima kasih Ibu, Bapak, mba Ana,
Cholid, ka Sakty 🙂

Berkeluarga Sampai di Surga

“Berkeluarga, menjadi anak, ayah, ibu, adalah ketentuan Allah, kita dipersatukan oleh Allah SWT. Namun, akan ada saat-saat perpisahan” Ust. Felix Siauw

Ada keluarga yang disatukan di dunia, namun terpisah di yaumil akhir. Ada yang berpisah di dunia, namun Allah satukan di surga-Nya kelak. Dan ada pula keluarga yang sama-sama Allah satukan baik di dunia maupun di akhirat. Penggalan kalimat ini disampaikan Ust. Felix dalam akhir videonya setelah ia mengantar Cece (Alila) ke pesantren dan melepasnya. Putri sulungnya yang seringkali ia ceritakan dalam kajian-kajian beliau tersebut, sudah membuat saya jatuh hati sampai sekarang. Dan kesengajaan menonton video beliau ini, membersitkan sedikit sakit di dada.

Keluarga. Kata yang mudah membuat saya sedih seketika ketika ia disebut-sebut dalam kajian atau pesan lainnya. Berkeluarga adalah menyatukan visi misi, menuju tujuan yang sama bersama-sama. Alangkah baiknya, ketika keluarga menjadi pondasi keimanan dan ketaqwaan pertama yang kita dapatkan, menjadi pondasi yang selalu mengingatkan dalam perjalanan, dan menjadi ladang amal jariyah yang terus mengalir sekalipun dipisahkan oleh kematian. Maka bersyukurlah jika kamu memiliki keluarga yang baik dalam pandangan Allah, karena insyaa Allah kebaikan itu akan terus terbawa sampai hari pembalasan, insyaa Allah.

Bapak pernah menyampaikan bahwa keridhaan Allah lah yang membuat seseorang masuk surga. Di hari akhir nanti, orang-orang yang paling kita cintai di dunia sekalipun, bisa jadi akan menjadi musuh-musuh kita kala itu. Mengingat dan memerdulikan mereka saja kita mungkin tidak akan sanggup, mengingat betapa luar biasanya dosa yang kita miliki hingga kita hanya peduli dengan timbangan amal diri sendiri. Bahkan seorang ibu tanpa sadar menjatuhkan anak bayinya. Bahkan kita tidak peduli ketika seluruh umat manusia telanjang di padang masyhar. Betapa menakutkannya hari itu. Dan saat itu, keridhaan adalah harga mahal dari segala timbangan perbuatan yang kita miliki. Istri mengharapkan ridha suaminya. Anak laki-laki mengharapkan ridha ibunya. Pemimpin mengharapkan ridha rakyatnya… Tapi kala itu, lisan, pendengaran, pengelihatan, dan hati kita sudah bukan milik kita lagi. Mereka akan berkata sesuai dengan apa yang selama ini kita perbuat di dunia. Alih-alih saling meridhai satu sama lain, kita mungkin akan mencari aman bagi diri sendiri. Seperti kisah dimana seorang anak berbalik menuntut orang tuanya dan menarik mereka juga ke neraka dengan dalih “Orang tua kami tidak mendidik kami akan Islam, orang tua kami tidak menyuruh kami untuk beribadah, orang tua kami membiarkan kami…” sedang orang tuanya ketika di dunia selalu taat beribadah. Naudzubillahi mindzalik.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya:
اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ
imam yang adil,
وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ
seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah,
وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ
seorang yang hatinya bergantung ke masjid,
وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ
dua orang yang saling mencintai di jalan Allah, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya,
وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ
seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Aku benar-benar takut kepada Allah.’
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ
seseorang yang bershadaqah dengan satu shadaqah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta
وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
seseorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.”
(HR. Bukhari, No.1423 dan Muslim, No.1031)

Jika kita berjumpa dan berpisah karena Allah, insyaa Allah kita akan dipersatukan kembali di yaumil akhir oleh-Nya. Namun jika kita berkumpul dan berpisah bukan karena Allah, maka tidak ada jaminan kita akan menemui mereka di yaumil akhir kelak. Setiap orang Allah titipkan dengan kondisi keluarganya masing-masing, menjadi rahmat atau ujian bagi mereka di dunia. Dan alangkah baiknya, ketika kita meridhai anggota keluarga kita untuk menjadi baik, dengan pengharapan yang tulus, bahwa kita tidak ingin menjadi musuh bagi mereka di akhirat kelak, tapi justru saling menyelamatkan satu sama lain. Seperti apa yang Bapak sampaikan ke kami, “Jika di dunia saja kita saling bertengkar, bagaimana kita mau berharap sama-sama di surga kelak?” HasbunAllah wa ni’mal wakhil.

Wallahua’lam bishawab.

View this post on Instagram

Perpisahan Untuk Perjumpaan Berpisah dengan yang dicintai itu memang nggak mudah, dan mungkin kita nggak bakal pernah siap untuk itu. Sebab tabiat cinta itu ingin mendekat, membersamai tanpa henti Tapi juga tak adil bagi cinta, bila ia tak mendapatkan haknya, yaitu pengorbanan, rindu, asa, dan menetapi kebenaran. Cinta memerlukan kesemuanya itu Karena itulah, kita mendidik cinta dengan perpisahan, agar ia tahu makna menghargai sesuatu, belajar untuk melihat hal-hal yang dulu diremehkan atau dikecilkan Sebab itu, kita mengajar cinta dengan jarak, agar rindu bisa memberitahu tentang persiapan akan perjumpaan, dan memberi bekal untuk percintaan nan abadi Masih segar dalam benak, betapa Abi dan Ummi sulit, susah, kadang putus asa dalam mendidik. Terselip sesal saat amarah mengambil kendali dalam memberi pengajaran Seolah kemarin, menggamit tangan mungil, menuntun langkah yang tertatih, menikmati celoteh lucu tanpa makna, menjaga dalam riang permainan Kini terbentang luasnya dunia dakwah di depanmu, dalamnya lautan ilmu Tuhanmu, dan sadis dan kejamnya musuh-musuh yang kelak engkau akan hadapi Tak ada yang Abi dan Ummi bisa perbuat, selain menyiapkan dirimu, meski harus berpisah sementara. Sebab perpisahan itu pasti akan terjadi, satu saat nanti Sebab persiapan ketaatan itu dalam keadaan sulit dan keadaan mudah. Malah, bisa jadi ketaatan yang sulit itu lebih bernilai pahala dibandingikan yang mudah dalam taat Dan, berapa banyak diantara kita yang menyadari? Bahwa kita pasti akan berpisah dengan semua yang kita sayangi di dunia. Entah sementara, entah selamanya Akan tetapi, bagi mereka yang berpisah karena Allah, mereka akan diperjumpakan kembali oleh Allah. Pasti. Dan apapun yang kita lakukan di dunia, adalah persiapan di hari itu Alila Shaffiya Asy-Syarifah. Begitu namamu dipilihkan. Jadilah Muslimah yang jelita, murni, dan terhormat, dengan memahami firman-firman Tuhanmu Yang Agung Tak ada yang bisa dibekalkan kedua orangtuamu yang bodoh ini, kecuali mengikhlaskan, mendoakan, dan mendukung agar dirimu yang jadi pemutus rantai jahiliyah di keluarga ini Mengingat 7 Juli 2019, dari salah satu Abi dan Ummi yang resmi jadi walisantri #rindu #kangen #santri

A post shared by Felix Siauw (@felixsiauw) on

-Perpisahan Untuk Perjumpaan-
/ Berpisah dengan yang dicintai itu memang nggak mudah, dan mungkin kita nggak bakal pernah siap untuk itu. Sebab tabiat cinta itu ingin mendekat, membersamai tanpa henti /
/ Tapi juga tak adil bagi cinta, bila ia tak mendapatkan haknya, yaitu pengorbanan, rindu, asa, dan menetapi kebenaran. Cinta memerlukan kesemuanya itu /
/ Karena itulah, kita mendidik cinta dengan perpisahan, agar ia tahu makna menghargai sesuatu, belajar untuk melihat hal-hal yang dulu diremehkan atau dikecilkan /
/ Sebab itu, kita mengajar cinta dengan jarak, agar rindu bisa memberitahu tentang persiapan akan perjumpaan, dan memberi bekal untuk percintaan nan abadi /
/ Masih segar dalam benak, betapa Abi dan Ummi sulit, susah, kadang putus asa dalam mendidik. Terselip sesal saat amarah mengambil kendali dalam memberi pengajaran
/
/ Seolah kemarin, menggamit tangan mungil, menuntun langkah yang tertatih, menikmati celoteh lucu tanpa makna, menjaga dalam riang permainan /
/ Kini terbentang luasnya dunia dakwah di depanmu, dalamnya lautan ilmu Tuhanmu, dan sadis dan kejamnya musuh-musuh yang kelak engkau akan hadapi /
/ Tak ada yang Abi dan Ummi bisa perbuat, selain menyiapkan dirimu, meski harus berpisah sementara. Sebab perpisahan itu pasti akan terjadi, satu saat nanti /
/ Sebab persiapan ketaatan itu dalam keadaan sulit dan keadaan mudah. Malah, bisa jadi ketaatan yang sulit itu lebih bernilai pahala dibandingikan yang mudah dalam taat /
/ Dan, berapa banyak diantara kita yang menyadari? Bahwa kita pasti akan berpisah dengan semua yang kita sayangi di dunia. Entah sementara, entah selamanya /
/ Akan tetapi, bagi mereka yang berpisah karena Allah, mereka akan diperjumpakan kembali oleh Allah. Pasti. Dan apapun yang kita lakukan di dunia, adalah persiapan di hari itu /
/ Alila Shaffiya Asy-Syarifah. Begitu namamu dipilihkan. Jadilah Muslimah yang jelita, murni, dan terhormat, dengan memahami firman-firman Tuhanmu Yang Agung /
/ Tak ada yang bisa dibekalkan kedua orangtuamu yang bodoh ini, kecuali mengikhlaskan, mendoakan, dan mendukung agar dirimu yang jadi pemutus rantai jahiliyah di keluarga ini /
/ Mengingat 7 Juli 2019, dari salah satu Abi dan Ummi yang resmi jadi walisantri
/

Lelah Berpisah, Balikan Yuk

Tanggal 16 Agustus 2018 saya lihat postingan IG @terangjakarta dan ustadz @felixsiauw tentang Lelah Berpisah, Balikan Yuk, kajian pembuka dan pertama dari Conncreate. Hal yang membuat menarik sebenarnya isi postingannya, karena di video itu selain ada Ust. Felix ada juga Ust. Abu Fida, namun yang mengisi kajiannya justru Ust. Salim A. Fillah. Nah loh #mncrgknskl hehe, apalagi beberapa hari sebelumnya banyak postingan foto bersama antara Ust. Felix Siauw, Ust. Oemar Mita, Ust. Hanan Attaki, dan Ust. Abdul Somad, aaahhh masyaa Allah ada apa ini? Hehe. Kajian yang mencurigakan sekali!

Kajian tersebut dijadwalkan pagi hari pukul 08:00 di Eleven Trees Jakarta Selatan, pada Jum’at, 17 Agustus 2018, bertepatan dengan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-73 tahun. Qadarullah alhamdulillah dimudahkan ke sana, alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah. Disana hadir Ust. Felix Siauw, Ust. Abu Fida, Ust. Salim A. Fillah, ka Mario Irwinsyah, mas Cahyo, dan ada juga mas Ari Untung tapi ndak naik ke atas teras. Sedangkan Ust. Oemar Mita, Ust. Hanan Attaki, dan Ust. Abdul Somad berhalangan hadir. Dan yang terakhir, hadir juga Pak Rene Suhardono Canoneo, Komisaris Utama dan Independen PT. Jaya Ancol yang juga Founder Impact Factory. Di kesempatan yang diberikan kepada beliau, beliau sedikit bercerita tentang hijrahnya dahulu. Di tahun 2014, Pak Rene merupakan orang yang vokal dan gencar menyerang figur Ust. Felix, beliau mentahdzir ust. Felix mati-matian, weisss. Lalu sampailah ketika tahun 2017 Pak Rene beribadah haji, dan ibadah tersebut membuka cara pandang beliau 180 derajat. Hingga akhirnya beliau dipertemukan dengan orang-orang shalih lainnya, dan beliau juga bertemu Ust. Felix untuk meminta maaf secara langsung 🙂

Insyaa Allah di setiap bulannya akan ada pertemuan lanjutan dari serial Conncreate, dan puncaknya pada Desember 2018 di Ancol. Baiklah, berikut ini adalah resume dari kajian pertama Conncreate. Jika ada hal-hal yang kurang sesuai dengan penyampaian sebenarnya, mohon koreksi dan mohon maaf _/|\_

.

“… Yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara mereka” HR. Bukhari no. 4689

“… Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)

Label keshalihan masih dapat diberikan pada seseorang, namun tidak dengan ketaqwaan. Karena taqwa adalah apa yang tersimpan dalam hati. Bisa jadi seseorang yang dzahirnya pendosa namun dalam hatinya ia selalu meratapi dosa-dosanya, merasa kurang amal ibadahnya dari orang lain, dan meminta pertolongan Allah untuk menjadi lebih baik adalah lebih bertaqwa dibandingkan orang yang dzahirnya adalah ahli ibadah namun dengan mudah ia menganggap dirinya lebih baik dari orang lain dan/atau menyalahkan orang lain. Karena ketaqwaan lahir dari dalam hati -hati yang taat pada Allah- yang menunjukkan tingginya derajat seseorang dibandingkan orang lain.

Ujian ketaqwaan lahir justru bukan pada level duniawi. Apakah kalian ingat dengan kisah Iblis yang membangkang pada Allah? Sebelum Nabi Adam diciptakan, Iblis adalah mahluk yang paling taat kepada Allah, mereka adalah ahli ibadah yang ta’at selama 40,000 tahun seperti halnya Malaikat. Namun semua itu berubah 180 derajat ketika Adam diciptakan dan seluruh mahluk ciptaan Allah diperintahkan untuk sujud kepadanya. Bukan karena paras Adam, bukan karena kekayaannya, atau takaran duniawi lainnya yang membuat Iblis enggan untuk sujud pada Adam, melainkan karena kedengkian Iblis melihat Adam mendapat tempat istimewa di sisi Allah. Kalau dipikir-pikir, seperti berlomba-lomba dalam kebaikan bukan? Ketika kita mendapati teman kita lebih baik dalam agama, maka seharusnya kita iri (dalam kebaikan) dan berusaha lebih baik. Namun yang terjadi pada Iblis tidaklah demikian, yang muncul adalah rasa dengki yang membuat Iblis membangkang pada Allah.

Hal yang berbeda justru terjadi pada anak pertama Adam di dunia, yang menorehkan dosa pertama karena kedengkian atas saudaranya yang sifatnya duniawi yakni ketika Qabil membunuh Habil karena tidak rela saudaranya tersebut menikahi saudara kembarnya yang berparas cantik, sedangkan Qabil yang rupawan harus menikahi saudara kembar Habil yang berparas kurang cantik. Sebagaimana dikatakan Al-Qurthubi, “Hasad (dengki) adalah dosa yang pertama kali dilakukan di langit dan di bumi, di langit adalah dengkinya Iblis kepada Nabi Adam as. dan di bumi adalah dengkinya Qabil kepada Habil.”

Hendaklah kita selalu mengevaluasi apa-apa yang terbesit dalam hati kita, apakah selalu membatinkan yang baik seperti halnya ibadah dzahir yang kita lakukan ataukah justru membatin “Ana khairumminhu” (aku lebih baik daripadanya, QS. Shaad: 76)? Seperti membatinnya Iblis ketika melihat Adam, hingga mereka rela masuk neraka karena perbuatannya. Karena jika mengaji kita on-the-track maka yang seharusnya terjadi adalah kita memohon ampunan Allah atas dosa-dosa kita yang tidak terhitung dengan ketundukan dan ketulusan hati, bukan sebaliknya menjadi hakim atas kedudukan orang lain. Kisah kesombongan Iblis terhadap Adam, terjadi seperti halnya Qarun terhadap Musa, ketika Musa mengingatkan Qarun akan kesombongan hartanya, lalu Qarun justru menjawab “Ana Innamaa Uwtiytuhu ‘alaa ‘ilmin ‘indiy” (Aku diberi (harta itu) semata-mata karena ilmu yang ada padaku, QS Al-Qasas: 78)

Tujuan mengaji itu untuk melembutkan hati-hati kita, agar tetap on-the-track, agar kita senantiasa menjadi orang yang selalu meletakkan hajatnya hanya kepada Allah, “Ya Allah, hambamu ini perlu kepada-Mu.”

.

Mengapa kajian ini dibuka dengan kisah Iblis, Qabil, dan Qarun? Mengapa diangkat pembahasan terkait dengki dalam beragama? Semata-mata untuk mendudukkan setting mental awal kita seperti apa. Kendala terbesar ummat islam adalah perpecahan, entah perpecahan manhaj, mazhab, ormas, dll. Peristiwa 212, 411 menjadi bukti bahwa muslim Indonesia bisa bersatu, terlepas dari apapun perbedaan cabangnya. Tidak pernah merugi kaum muslimin ketika kita Balikan, karena kita sama-sama membangun rumah peradaban islam yang satu, tanpa sekat-sekat harakah, tanpa saling tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain), dan tanpa saling namimah (mengadu domba) sesama muslim.

Karena tidak mungkin ketika kita membangun rumah, yang membangun pondasi mencaci-maki yang sedang membangun dinding, yang sedang membangun kolom mencaci-maki yang sedang membangun atap. Melabeli saudara-nya seiman dengan ahli bid’ah, sengaja mengikuti kajian tertentu untuk mencari-cari kesalahan dengan memotong bagian kajian tertentu lalu menyebarkan sepotong-sepotong dengan tujuan tajassus atau namimah. Islam tidak akan bersatu dengan cara-cara seperti itu. Karena selama kita masih hidup, tidak akan ada yang tahu siapa yang taqwa-nya lebih tinggi di hadapan Allah SWT. Seperti apa yang pernah dikatakan Ustadz Derry Sulaiman, “Sekurus-kurus ikan pasti ada dagingnya, segemuk-gemuk ikan pasti ada tulangnya,” artinya selalu ada manfaat yang dapat diambil.

Hari ini, kita merindukan ummat muslim yang dicontohkan Rasulullah, yang mengambil hati orang lain dengan dakwah yang menyentuh hati orang lain. Seperti ketika Rasulullah berkata pada penjaga sebuah kebun Anggur tatkala ia menghadapi da’wah yang berat di Thaif, dan ia berkata pada Nasrani yang berasal dari Nineveh, Irak tersebut dengan, “Engkau berasal dari Yunus yang baik, anak dari Matta.” Atau ketika kita mengambil pelajaran dari Imam Abu Dawud yang membeli surga dengan satu dirham. Bahwa ketaqwaan lahir ketika kita melibatkan Allah dalam hati kita dalam setiap kebaikan yang kita perbuat.

Taqwa itu “faaslihu bayna akhowaykum” yakni mendamaikan kedua saudaramu yang berselisih (QS. Al-Hujarat: 10). Mendamaikan agar ummat muslim bersatu di atas perbedaan-perbedaan yang ada. Dalam hal ini, berbohong diperbolehkan selama dipertanggung-jawabkan dan jujur disampaikan setelah terjadi perdamaian antarsaudara kita. Kita seharusnya berhusnudzhan dengan mencari 70 alasan syar’i, bukan sebaliknya mencari-cari 1 alasan untuk suudzhan pada saudara kita. Taqwa itu seperti apa yang disampaikan Ubay bin Ka’ab kepada Umar ibn Khattab, seperti kita berjalan melewati jalan penuh duri, maka selayaknya kita berhati-hati.

Serendah-rendahnya rukun ukhuwah adalah berlapang dada, selain dari ta’aruf (saling mengenal), tafahum (saling memahami), ta’awun (saling menolong), tafakul (saling menanggung), dan itsar (mendahulukan orang lain diatas kepentingannya sendiri). Dengan berlapang dada, kita mendapati sahabat Rasulullah yang menjadi ahlul surga karenanya. Fulan rahimahullah masuk dalam golongan ahli surga karena ia senantiasa memaafkan kesalahan-kesalahan orang yang berbuat salah kepadanya, setiap saat sebelum ia tidur di malam hari, masyaa Allah.

.

Jika islam sudah menjadi nyawa dalam ruh seorang muslim, maka kita pasti akan senantiasa rindu dengan persatuan. Kebangkitan islam akan muncul karena persatuan. Layaknya para pahlawan pendahulu kita yang menepikan berbagai perbedaan pandangan, semata-mata untuk persatuan mencapai Kemerdekaan RI.

Terakhir, berikut adalah lima pesan Ust. Salim A. Fillah untuk persatuan ummat:

  1. Niatkan saat ini kapanpun ketika kita bertemu saudara kita sesama muslim, sebelum kita mengetahui atau menilai background-nya, tanamkan pada diri kita “Kamu saudaraku.”
  2. Perbedaan cabang tidak dapat menafikkan persamaan akar dan batang. Banyaknya perbedaan tidak dapat mengalahkan banyaknya persamaan.
  3. Perkara yang sudah dibahas oleh Ulama, tidak perlu ikut diributkan ummat.
  4. Jangan ikut menyebarkan isu-isu permusuhan, tetapi damaikan permusuhan antarmu’min.
  5. Jangan pernah lupa untuk mendoakan terwujudnya persatuan islam. Semoga Allah membersihkan hati-hati kita dari rasa dengki yang menghambat persatuan ummat.

Semoga Allah menurunkan rasa sakinah pada diri orang-orang muslim, dan semoga Allah persatukan ummat muslim dalam persaudaraan yang kuat. Semoga forum Conncreate ini menjadi langkah awal persatuan tersebut, menjadi ladang tabayyun bagi sesama muslim sebelum mereka menghakimi lewat pemberitaan di media, semoga forum ini bisa merangkul kaum muslimin dari harakah atau manhaj, mazhab, atau ormas apapun, selama masih dalam Islam yang lurus, aamiin.

 

Al-Baqarah 269 dan Al-Anfal 29 tentang Hikmah dan Furqaan

Setiap diri akan diuji, diuji dengan dirinya sendiri, entah pula diuji dengan orang tuanya, kakak-adiknya, sanak saudaranya, teman dan kerabatnya, sahabat-sahabatnya, rekan kerjanya, lingkungannya, pemimpinnya, dengan siapapun dan dengan kejadian apapun. Baiknya kehidupan itu sendiri bisa jadi menyembunyikan ujian. Namun, Maha Besar Allah yang masih menguji hamba-Nya, karena Ia masih memberinya kesempatan dan tidak melepasnya dalam ‘pembiaran’. Karena lawan tidak mencintai bukan membenci, tapi membiarkan. Entah apa jadinya jika Allah membiarkan dan tidak peduli pada kita, astaghfirullah… tidak ada keselamatan yang akan menjamin dan tidak ada satupun penolong yang mampu menolong kita selain dari-Nya.

Maka Kami biarkan orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami, bergelimangan di dalam kesesatan mereka.” Yunus: 11

Bersyukur ketika alarm harap dan takut pada Allah masih berfungsi tajam. Seringkali teman-teman shalihah saya cemas, “Hidup saya baik-baik saja, apakah ini ujian dari Allah ?”, yang dari kecemasan itu sudah membuat saya tertegun dan kagum pada mereka. Karena bersyukur, bersyukur bahwa apapun kondisi kita, Allah masih memberikan petunjuk dengan menyisipkan rasa khauf dan roja’. Apapun kondisi kita, entah diuji dengan kesulitan ataupun kelapangan, hakikatnya adalah menghadapi dengan hati-hati. Seperti percakapan Ubay bin Ka’ab dengan Umar ibn Khattab ra. tentang taqwa, bahwa taqwa itu seolah-olah engkau berjalan melewati jalan yang penuh duri, maka engkau akan berhati-hati.

Khauf, roja’, berhati-hati, hmm… adakah bekal Allah yang lain selain ketiganya dalam menghadapi ujian tersebut? Jika kita lihat dari Al-Qur’an, Allah menyebutkan kata Al-Hikmah dan Furqaan. Furqaan dalam Al-Anfal: 29 ditafsirkan dengan cahaya yang dapat membantu membedakan antara yang haq dan batil, halal dan haram, patut dan tidak patut, sedangkan Al-Hikmah dalam Al-Baqarah: 269, ditafsirkan dengan kefahaman yang mendalam tentang Al-Qur’an (dan as-Sunnah). Selain dari kedua ayat tersebut, masih banyak lagi ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang keduanya.

Allah menganugerahkan al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Qur’an dan as-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al-Hikmah, dia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”  Al-Baqarah: 269

Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan (cahaya yang dapat membantu membedakan antara yang haq dan batil, halal dan haram, patut dan tidak patut). Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” Al-Anfal: 29

Furqaan dalam Al-Anfal: 29 dituliskan bahwa akan diberikan pada orang-orang beriman yang bertaqwa pada Allah. Sedangkan Al-Hikmah dalam Al-Baqarah: 269 diberikan kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Kedua ayat ini sama-sama diakhiri dengan ‘karunia yang besar’ yakni bagi hamba yang memperoleh Al-Hikmah, dan ditujukan kepada Allah yang memiliki karunia tersebut. Wallahua’lam bishowab.

Saya membayangkan seseorang yang dianugerahi keduanya pasti luar biasa keimanan dan ketaqwaannya. Seolah-olah hak prerogatif Allah diberikan kepadanya yang bisa jadi sejuta umat lainnya pun belum tentu berhasil memperolehnya. Dan hamba ini dalam bayangan saya pasti kekasih Allah yang mendapat cinta-Nya. Huaaaaa…. itu rasanya kalau orang itu ada di dekat kita, aura keimanannya kuat sekali :). Entah dalam posisi apa kita (saya) sekarang, terus berusaha berhati-hati dan selalu merasa dalam pengawasan Allah untuk memupuk rasa khauf dan roja’, meminta-Nya untuk memberikan petunjuk dan furqaan pada setiap ujian yang kita lalui, hikmah dalam ilmu (al-fahmu) dan keimanan yang menopang keistiqomahan kita. Berat ya hidup ini, tapi semoga dengan bersamanya Allah dalam setiap hal yang kita jalani, hidup ini bisa jauh lebih ringan :’)

Hibernation.

I believe that sometimes someone need more time to him/her self to reflect back what he/she has done, what ‘missing’ in his/her life, what he/she really wanna do, what aspect that he/she is getting better and getting worse day by day, what perspectives that all this time have create his/her mind and soul, what will he/she do next?, and anything else…

Our environment leave some impacts to ourselves, both in good and bad. I just wonder if my thought have already influenced to make me worse or not. And yes, it is. I need to be objective and not judge some issues based on what I want to believe, but based on what my belief, Islam, teach me and guide me to become a true Muslim.

I should make my principle clear and my mind pure in order to see the issues. Read the news, watched tv, heard people’s perspectives, and many else have leaved the impacts to my mind. Let’s say that I watched tv about the corruptors and makes me feel so hate about them… until I forgot to pray for them to find Allah’s guidance and to prevent me from hurt them. And in many cases I forgot that I should distinguish between against something objectively rather than subjectively. I forget that kindness is the mark of faith, I forget to be kind to the people even if they’re our enemies, they still should be treated fairly. Without kindness, Islam is just a religion. But Islam is also about akhlaq, about manner, behavior, where justice is the right to all of people, all of living things, to nature, to Allah, in all aspects. So I need to remind my self about it, that sometimes where the situations are filled with detestation, our positions can be biased.

I read about Yamamoto Qaym Naoki, a Japanese new Muslim, some days ago and watched a video about him. And I amaze with him while at the same time feels ashamed that he much better than me, a girl who’s born as a Muslim. He stated that the verse in Qur’an that affected his heart is “And We have already created man and know what his soul whispers to him, and We are closer to him than [his] jugular vein.” He stated that he feels freedom as a Muslim in the meaning that he is not a slave to human being but a slave to Allah only. And when syeikh Fahad Al-Kandari quote Alwaleed bin Al Mugheera after he heard Al-Qur’an,

The beauty of Qur’an is felt by anyone who listens truly.
But the guidance of Qur’an is founded by he who’s pure in heart and mind.

Suddenly, I felt like being struck by thunderbolt and couldn’t say anything. I’m quiet for a moment and keep silent. I asked my self “Am I pure in heart and mind ?” and my other self said “No, not yet.”…

And then I watched Corey Gil-Shuster YT channel unintentionally and keep watching until I realized that I have watched a lot of videos in his channel hehe. I’m curious at the first time, but then it become one of my way to reflect my thoughts by seeing the wider perspective. Ok, I can say that Corey tried to be fair in interviewing Palestinians and Israelis, but I think he’s also already has own preferences which sometimes I feel the tendency within his voice (no offense), and that’s not a problem for me since his videos really help me to know more about their opinions and what they felt. So thank you for him, he makes worthwhile project, thank you.

After I watched it, I realized that I should be fair to put my position. That what I hate is they who’re against the justice, they who’re make innocent people suffering by their way of treating, they who’re make violence cruelly, no, not they as general but they in the meaning of ‘demeanor’. And keep praying for them and hope that Allah will guide us -all of us- for hidayah, to be a better person, to obey Allah fully, together. I hope I can save my heart and mind to be pure and sincere, so I can say that I’m a Muslim and I’m proud to be a good Muslim, a true Muslim.