Hukum Hudud Bagi Pezina #2 – Syarat Hukuman

1. Kisah rajam

Asy-Sya’bi berkata, “Suami Syarahah sudah lama hilang di Syam. Namun kondisi Syarahah kini hamil. Kemudian majikan Syarahah membawanya menghadap Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Majikannya berkata, “Wanita ini telah berzina dan dia telah mengakuinya”. Ali pun menyambuknya 100 kali pada hari Kamis dan merajamnya pada hari Jumat. Dibuat lubang untuknya hingga batas pusar dan saya menjadi saksi.

Kemudian Ali bin Abi Thalib berkata, “Rajam adalah sunnah yang telah digariskan Rasulullah saw. Bila keadaan seseorang menyaksikan perzinahan seseorang, pasti ia yang akan menjadi orang pertama bersaksi dengan kesaksiannya, kemudian diikuti dengan kesaksian batu yang dilemparnya. Namun wanita itu menetapkan bahwa akulah orang yang pertama melemparnya, maka dilemparlah ia dengan baru. Kemudian lemparan itu diikuti oleh orang banyak, saya termasuk diantara mereka. Demi Allah, saya termasuk salah seorang yang ikut mengeksekusinya”. Dalam riwayat Ahmad dan Al-Bukhari bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku mencambuknya berdasarkan hukum Allah dan merajamnya berdasarkan sunnah Rasulullah”. Al Bukhari, Kitab Al-Hudud (4/253). Inilah salah satu ijtihad Ali bin Abi Thalib dalam hukum pidana. Hal tersebut masih dalam perdebatan  diantara para ulama. Sedangkan jumhur ulama berpendapat untuk tidak menggabungkan antara jilid (cambuk) dan rajam. Tarikh Al-Qadha fi Al-Islam, hlm.152

Dalam riwayat lain dikatakan, “Maka digalilah lobang di tengah pasar untuk wanita itu. Orang-orang yang mengelilinginya dan berkata-kata tentangnya. Lalu mereka melemparinya dengan batu kecil. Kemudian Ali berkata, “Rajam tidak seperti yang kalian lakukan. Jika kalian melakukannya seperti ini, maka kalian akan saling membunuh satu sama lain. Buatlah oleh kalian barisan sebagaimana barisan shalat”. Kemudian umumkan, “Wahai masyarakat, sesungguhnya orang yang pertama merajam pezina adalah imam (pemimpin) bila ia mengakuinya dan disaksikan oleh empat orang saksi terhadap pezinahannya. Yang pertama kali merajam adalah orang yang pertama kali menjadi saksi atas perzinahan tersebut, kemudian diikuti oleh imam, lalu masyarakat. Kemudian lemparilah wanita itu dengan batu besar oleh orang yang dibarisan pertama. Ia berkata, “Lemparilah ia oleh kalian”. Kemudian Ali berkata, “Menyingkirlah kalian”. Lakukan itu oleh kalian berdasarkan barisan kalian sampai ia mati”. Mushannaf Abdul Razzaq (13335) dan Fiqh Al-Imam Ali (2/782)

2. Menunda rajam wanita hamil

Menurut Ali bin Abi Thalib, apabila wanita yang sedang hamil terbukti melakukan perzinahan, maka hukumannya ditunda sampai melahirkan. Fiqh Al-Imam Ali (2/783)

Dari Ali bin Abi Thalib, “…Aku mendatangi Rasulullah saw. dan mengingatkan beliau. Lalu beliau bersabda, ‘Apabila darahnya telah mengering, maka tegakkanlah hukum had atas dirinya. Tegakkanlah hudud atas hamba sahaya kalian”‘. Musnad Al-Imam Ahmad, nomor 1137. Shahih li Ghairih.

3. Hal-hal yang dibenci atas pezina

Menurut Ali bin Abi Thalib, tidak ada hukuman hudud terhadap orang-orang yang dipaksa untuk berzina. Baginya harus ada mahar (mas kawin) yang sesuai. Fiqh Al-Imam Ali 2:786

4. Zina terpaksa (diperkosa)

Jika seorang wanita terpaksa melakukan perzinahan untuk menyelamatkan hidupnya dari kematian dan tidak ada jalan/cara lain kecuali melakukan hal tersebut, maka menurut Ali bin Abi Thalib hukum had tidak dapat dikenakan kepadanya. Fiqh Al-Imam Ali bin Abi Thalib (2/788)

Dalam sebuah riwayat dikatakan, seorang wanita datang kepada Umar bin Khathab. Ia berkata, “Aku telah berzina, maka rajamlah aku”. Umar menolaknya sehingga ada empat orang saksi siap memberikan kesaksian. Umar pun merajamnya setelah ada saksi..

Ali berkata, “Wahai Amirul Mukminin, tolaklah permintaannya. Tanyailah ia, kenapa ia sampai berzina. Bisa saja ia berzina karena terpaksa”

….

Ali berkata, “Allah Akbar, barangsiapa dalam keadaan terpaksa, sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Aku melihat ia memiliki udzur”. Kanzul Ummal (13596) dan Mughni Al-Muhtaj (4/145)

Para Fuqaha telah menyebutkan bahwa kejadian tersebut masuk ke dalam ruang lingkup zina yang terpaksa. Mereka tidak berbeda pendapat tentang tidak ada hukum hudud atas wanita yang dipaksa (diperkosa). I’lan As-Sunan (11:671) dan Al-Mughni (8/187)

“Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya” Al Baqarah:173. Ayat terakhir yang dikutip oleh Ali bin Abi Thalib ini menunjukkan bahwa orang yang terpaksa harus menyelamatkan jiwanya sehingga tidak ada hukuman di akhirat bagi orang yang terpaksa. Jatuhnya hukuman di dunia lebih utama dalam penunaian hak-hak Allah. Kita dapat mengambil pelajaran dari masalah ini adalah, “Ali bin Abi Thalib menggunakan kaidah ‘Keadaan darurat membolehkan yang dilarang”‘. Fiqh Al-Imam Ali (2/789)

5. Menolak hudud dengan kecurigaan

Menurut Ali bin Abi Thalib, menangkal hukum hudud dengan kecurigaan.

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa seorang wanita mendatanginya dan berkata, “Aku telah berzina.”

Ali berkata, “Mungkin Anda datang ke sini sambil mengigau di kasur Anda atau dipaksa?”

Wanita itu menjawab, “Aku datang ke sini karena ketaatan, bukan karena dipaksa.”

“Mungkin Anda mengalami kekerasan atas diri Anda?” kata Ali

“Aku tidak mengalami tindakan kekerasan”.

Maka Ali pun menahan wanita itu. Ketika selesai melahirkan dan membesarkan anaknya, maka Ali menjilid (cambuk)nya. Fiqh Al-Imam Ali (2/761). Karena ia adalah wanita yang belum menikah.

6. Zina dengan wanita Nasrani

Dari Qabus bin Makhariq bahwa Muhammad bin Abi Bakar telah menulis surat kepada Ali untuk bertanya tentang seorang muslim yang berzina dengan wanita Nasrani. Ali menjawab, “Adapun bagi seorang muslim harus ditegakkan hukum hudud. Sedangkan wanita Nasrani harus diserahkan kepada hukum yang berlaku pada agamanya“‘. Mushannaf Abdul Razaq (13419)

Hukuman bagi pezina adalah urusan ta’abbudi (ibadah) yang berfungsi untuk mensucikan diri dari dosa. Oleh karena itu, hukum hudud tidak sesuai bila diterapkan kepada nonmuslim.

___

Dirangkum dari Buku Biografi Ali bin Abi Thalib karya Prof. DR. Ali Muhammad Ash-Shalabi, halaman 410-414

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.