Keislaman al-Mundzir bin Sawa dan Adi bin Hatim

Al-Mundzir bin Sawa adalah penguasa Bahrain ketika Rasulullah hendak memperluas wilayah islam. Rasulullah mengirimkan seruan da’wah islam melalui surat,

Bismillahirrahmaanirrahiim, dari Muhammad Rasulullah saw kepada al-Mundzir bin Sawa, keselamatan untuk siapa saja yang mengikuti hidayah (islam). Ammaba’du, aku menyeru engkau untuk memeluk islam. Maka masuk islamlah, engkau akan selamat. Masuk islamlah maka Allah akan menjadikan apa yang berada dalam genggaman kedua tanganmu tetap menjadi milikmu. Ketahuilah, bahwa agamaku ini akan menuai kemenangan hingga unta dan kuda terakhir!

al-A’la bin al-Hadhrami, utusan yang membawa surat ini mengingatkan kepada al-Mundzir bin Sawa, “Wahai Mundzir, engkau adalah orang yang mempunyai intelektualitas yang luar biasa di dunia ini maka janganlah sekali-kali engkau mengecilkan akhirat!”, seraya berpesan kepadanya untuk senantiasa berpikir dan menggunakan akal dalam merespon surat Rasulullah saw. Setelah membaca isi surat itu maka al-Mundzir bin Sawa berkata:

Aku memang telah mempertimbangkan urusan yang ada dalam genggamanku ini; aku memang menemukannya semata-mata untuk kepentingan dunia, bukan akhirat. Kemudian aku memerhatikan agama kalian dan aku pun menemukannya untuk kepentingan akhirat juga dunia sekaligus. Lalu, apa yang menghalangiku untuk menerima agama yang mengajarkan kedamaian hidup dan ketenangan mati? Kemarin aku merasa heran dengan orang yang menerimanya, dan kini aku merasa heran dengan orang yang menolaknya.”

Mahabenar Allah ketika menyampaikan kepada kita bahwa orang-orang kafir dan munafiq senantiasa pintar dalam urusan dunia yang terlihat, tapi lalai dalam urusan akhirat. Sama seperti visi Rasulullah yang memang sepertinya sangat tergantung dari taraf berpikir seseorang. Memang akhirnya semua kembali pada tingkatan berpikir yang pada gilirannya akan melahirkan keimanan. Begitu pula kisah islamnya Adi bin Hatim yang memperlihatkan tingkatan berpikirnya ketika berdialog dengan Nabi Muhammad saw.

“Wahai Adi bin Hatim, bukankah engkau penganut Rukus ?” Adi bin Hatim menjawab “Benar !”. Beliau bertanya: “Bukankah engkau mengambil langkah dengan menetapkan bagian seperempat ghanimah (untukmu) diantara kaummu ?”. Adi menjawab “Benar !”. Beliau bertanya lagi “Sebenarnya menurut agamamu hal itu tidak dihalalkan bagimu.” Berkata Adi “Demi Allah, memang benar !.” Kemudian, beliau berkata “Wahai Adi barangkali ada sesuatu yang menghalangimu memeluk agama ini karena engkau memandang mereka miskin? Demi Allah, kelak harta kekayaan akan diguyurkan dengan melimpah di tengah-tengah mereka hingga tidak ada satupun yang akan mengambilnya. Barangkali sesuatu yang menghalangimu masuk islam adalah karena engkau memandang musuh mereka banyak, sementara jumlah mereka hanya sedikit? Demi Allah, kelak engkau pasti mendengar ada seorang wanita keluar dari Qadisiyah dengan untanya, wanita itu pasti akan mengunjungi Baitullah ini tanpa rasa takut! Barangkali yang menghalangimu masuk islam karena engkau memandang kerajaan dan kekuasaan itu dipegang oleh selain mereka? Demi Allah kelak engkau akan melihat Istana Putih (Istana Kisra) dari Bumi Babil (Persia) akan ditaklukan untuk mereka.” Lalu, Adi bin Hatim pun memeluk islam.

Adi bin Hatim sebelum meninggal pada 688 akhirnya menyaksikan dua hal yang dijanjikan Rasulullah dengan matanya, takluknya Istana Putih Persia dan juga seorang wanita yang keluar dari Qadisiyah menuju Baitullah untuk menunaikan haji tanpa ada gangguan dan ia yakin, kelak satu hal yang lain akan segera terwujud. Bagi kaum Muslim yang menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, perkara janji dan bisyarah Allah serta Rasulullah serta semua visi yang disampaikan kepada ummat-Nya asalah perkara yang tidak perlu didiskusikan lagi kepastiannya. Bahasa imannya adalah qadarullah –ketentuan Allah– atau taqdir Allah. Persis seperti yang diisyaratkan kepada kita dalam ayat berikut.

Dan (Allah telah menjanjikan pula kemenangan-kemenangan) yang lain (atas negeri-negeri) yang kamu belum dapat menguasainya, yang sungguh Allah telah menentukannya. Dan adalah Allah mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Fath :21) [1]

 

Felix Y. Siauw, Muhammad Al-Fatih 1453 (Jakarta: Penerbit AlFatih Press, 2013), h.295-297

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.